Pemilu Untuk Perubahan (PART I) Ibarat menggantang Asap


Dalam catatan sejarah, setidaknya negeri ini sudah sebelas kali menggelar pemilu. pada masa orde lama digelar sekali pemilu yakni tahun 1955 diikuti 172 parpol dan di dominasi empat parpol yaitu : PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan PKI. Selama orde baru, di gelar enam kali pemilu yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu tahun 1971, pada awal pemerintahan soeharto, di ikuti oleh 10 parpol. Pemilu selanjutnya, hanya di ikuti tiga parpol sebagai hasil peleburan berbagai parpol yg ada sebelumnya, yakni PPP, PDI, dan golongan Karya.

orde baru jatuh oleh golongan reformasi dan dimulailah orde reformasi, hingga sekarang telah di gelar empat kali pemilu yakni tahun 1999 yg di ikuti 48 patai politik, tahun 2004 di ikuti oleh 24 partai politik, tahun 2009 di ikuti oleh 38 partai politik, dan tahun 2014 yg baru lalu di ikuti oleh 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal aceh.

Sepanjang kurun waktu tersebut, indonesia memiliki 6 orang presiden, yakni Soekarno, Soeharto, BJ Habibi, abdurrahman wahid, Megawati soekarno poetri, dan soesilo bambang yudhoyono. Dan pada pemilu mendatang akan di pilih presiden tujuh.

MENGGANTANG ASAP
setelah melalui sebelas kali pemilu dan enam orang presiden berganti, nyatanya harapan tinggal harapan, perbaikan dan perubahan yg di janjikan tak kunjung datang. Belasan kali pemilu sudah di laksanakan, kesejahteraan masyarakat masih sebatas angan-angan. Wakil rakyat datang silih berganti, setiap kali itu pula rakyat hanya di jadikan komoditi. Berkali kali kepemimpinan di rotasi, sebanyak itu pula rakyat menelan kekecewaan dan merugi.

Parlemen dan penguasa hasil pemilu selama ini membuat harapan dan cita-cita umat terasa makin jauh dari kenyataan. Dari parlemen dan penguasa pilihan rakyat itu lahir banyak peraturan perundangan yg justru merugikan rakyat. Melalui mereka juga kepentingan asing masuk. Merekalah pelaku korupsi yg paling ganas di negeri ini. Mereka pula yg telah menjual aset berharga milik negara dan rakyat. Bukankah mereka yg menjual INDOSAT dan BUMN-BUMN lainnya, menjual murah bank-bank yg di selamatkan dengan ratusan triliun uang rakyat, dan lainnya.

Bukankah mereka yg memberikan kontrak kepada freeport, Newmount, dan swasta asing lainnya untuk menjarah tambang yg sejatinya adalah milik rakyat. Bukankah penguasa pilihan rakyat hasil pemilu jugalah yg menyerahkan blok kaya minyak kepada Exxon Mobile, Blok kaya Migas Kepada TOTAL, serta menyerahkan dan memperpanjang kontrak BP untuk mengeruk gas tangguh. Benar mereka semua adalah Parlemen dan Penguasa hasil Pemilu.

Parlemen dan penguasa hasil pemilu nyatanya telah menghasilkan berbagai UU yg merugikan rakyat dan membuka pintu bagi asing untuk menguasai kekayaan negeri ini. Sejak tahun 1967, DPR dan pemerintah telah mengeluarkan UU yg menjadi pintu masuk cengkeraman asing atas negeri ini. UU penanaman modal asing (UUPMA) No. 1 tahun 1967 bahkan sengaja di sahkan agar PT. freeport bisa segera mengekploitasi emas milik rakyat. DPR pemilu pasca repormasi pun menghasilkan UU yg makin menyempurnakan jalan penguasaan asing itu, seperti UU penanaman Modal, UU perbankan, UU Minerba, UU migas, UU kelistrikan, UU sumber daya air, dan UU lainnya.

Hasilnya, kini dominasi asing makin kuat mencengkram sektor sektor strategis. Sekedar contoh, menurut catatan kompas, per maret 2001, pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian sekitar Rp. 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp. 3.065 triliun di kuasai asing. Pada badan usaha milik negara (BUMN), dari semua BUMN yang telah di privatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60%. lebih tragis lagi di sektor minyak dan Gas. Porsi oprator migas nasional hanya sekitar 25%, selebihnya 75% di kuasai pihak asing.

baca juga : Pemilu Untuk perubahan (part II), pemilu untuk perubahan (part III)

Comments